Keadaan
Geografis Indonesia
Indonesia memiliki sekitar 17.504
pulau (menurut data tahun 2004; lihat pula: jumlah pulau di Indonesia), sekitar
6.000 di antaranya tidak berpenghuni tetap, menyebar sekitar katulistiwa,
memberikan cuaca tropis. Pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, di mana
lebih dari setengah (65%) populasi Indonesia. Indonesia terdiri dari 5 pulau
besar, yaitu: Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya dan rangkaian
pulau-pulau ini disebut pula sebagai kepulauan Nusantara atau kepulauan
Indonesia. Indonesia memiliki lebih dari
400 gunung berapi and 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif. Sebagian
dari gunung berapi terletak di dasar laut dan tidak terlihat dari permukaan
laut. Indonesia merupakan tempat pertemuan 2 rangkaian gunung berapi aktif (Ring
of Fire). Terdapat puluhan patahan aktif di wilayah Indonesia.
Sebagian ahli membagi Indonesia atas
tiga wilayah geografis utama yakni:
- Kepulauan
Sunda Besar meliputi pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi.
- Kepulauan
Sunda Kecil meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur.
- Kepulauan
Maluku dan Irian
Iklim :
Indonesia mempunyai iklim tropik basah yang dipengaruhi oleh angin monsun barat dan monsun timur. Dari
bulan November hingga Mei, angin bertiup dari arah Utara Barat Laut membawa
banyak uap air dan hujan di kawasan Indonesia; dari Juni hingga Oktober angin
bertiup dari Selatan Tenggara kering, membawa sedikit uap air. Suhu udara di
dataran rendah Indonesia berkisar antara 23 derajat Celsius sampai 28 derajat
Celsius sepanjang tahun.Namun suhu juga sangat bevariasi; dari rata-rata mendekati 40 derajat Celsius pada musim kemarau di lembah Palu - Sulawesi dan di pulau Timor sampai di bawah 0 derajat Celsius di Pegunungan Jayawijaya - Irian. Terdapat salju abadi di puncak-puncak pegunungan di Irian: Puncak Trikora (Mt. Wilhelmina - 4730 m) dan Puncak Jaya (Mt. Carstenz, 5030 m).
Ada 2 musim di Indonesia yaitu musim hujan dan musim kemarau, pada beberapa tempat dikenal musim pancaroba, yaitu musim di antara perubahan kedua musim tersebut.
Curah hujan di Indonesia rata-rata 1.600 milimeter setahun, namun juga sangat bervariasi; dari lebih dari 7000 milimeter setahun sampai sekitar 500 milimeter setahun di daerah Palu dan Timor. Daerah yang curah hujannya rata-rata tinggi sepanjang tahun adalah Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, sebagian Jawa barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Maluku Utara dan delta Mamberamo di Irian.
Setiap 3 sampai 5 tahun sekali sering terjadi El-Nino yaitu gejala penyimpangan cuaca yang menyebabkan musim kering yang panjang dan musim hujan yang singkat. Setelah El Nino biasanya diikuti oleh La Nina yang berakibat musim hujan yang lebat dan lebih panjang dari biasanya. Kekuatan El Nino berbeda-beda tergantung dari berbagai macam faktor, antara lain indeks Osilasi selatan atau Southern Oscillation.
Mata Pencaharian
Selama
periode orde baru, industri dan pertanian merupakan dua sektor prioritas. Untuk
mendukung pembangunan pertanian, pemerintah melakukan modernisasi atau
intensifikasi yang dikenal dengan sebutan “Revolusi Hijau”. Mata Pencaharian
penduduk Indonesia sebagian besar masih di dalam sektor pertanian (agraris),
penduduk yang tinggal di daerah pedesaan biasanya dengan mata pencaharian
pertanian, perikanan, perternakan, dll. Sumber daya alam, sumber daya manusia,
seni tradisional dan budaya yang beraneka ragam membuat Indonesia memiliki
banyak mata pencaharian. Selain hal tersebut, letak geografis juga menjadi
salah satu faktor banyaknya mata pencaharian di Indonesia.
Keberhasilan
pembangunan di sektor pertanian di suatu negara harus tercerminkan oleh negara
tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak ketahanan pangan. Di
Indonesia, ketahanan pangan merupakan salah satu topik yang sangat penting,
bukan saja dilihat dari nilai – nilai ekonomi dan sosial, tetapi masalah ini
mengandung konsekuensi politik yang sangat besar. Faktor – faktor penentu
ketahanan pangan di Indonesia antara lain ketersediaan dan kualitas lahan,
infrastuktur khususnya irigasi, teknologi, kualitas buruh tani dan petani,
energi terutama listrik dan bahan bakar minyak, permodalan dan cuaca.
Namun ada
beberapa hal yang perlu diwaspadai dalam sektor pertanian yaitu komoditi yang
dihasilkan dari sektor ini relatif tidak memiliki nilai tambah yang tinggi,
sehingga tidak dapat bersaing dengan-dengan komoditi yang dihasilkan sektor
lain ( industri misalnya ), sehingga sebagian masyarakat Indonesia yang memang
bermata pencaharian di sektor pertanian (desa) semakin tertinggal dari rekannya
yang bekerja dan memiliki akses di sektor industri ( kota ). Jika ini tidak
segera ditindak lanjuti, maka akan menjadi benarlah teori ketergantungan, bahwa
spread effect ( kekuatan menyebar ) akan selalu lebih kecil dari back-wash
effect ( mengalirnya sumber daya dari daerah miskin ke daerah kaya ).
Untuk
mengatasi masalah ini, ada beberpa langkah yang dapat kita lakukan diantaranya:
1. Memperbaiki kehidupan penduduk/petani
dengan pola pembinaan dan pembangunan sarana dan prasaranya bidang pertanian.
2. Meningkatkan nilai tambah komoditi
pertanian, jika dimungkinkan tidak hanya untuk pasar lokal saja tetapi juga
merambah ke pasar Internasional.
3. Mencoba mengembangkan kegiatan
agribisnis.
4. Menunjang kegiatan transmigrasi.
Sumber
Daya Manusia
Sumberdaya
manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yakni
bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta
berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kita abaikan.
Dalam kaitan tersebut setidaknya ada dua hal penting menyangkut kondisi SDM
Indonesia, yaitu:
Pertama
adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah
angkatan kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73
juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta
orang dan ada sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment).
Angka ini meningkat terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8
juta.
Kedua,
tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Struktur
pendidikan angkatan kerja Indonesia masih didominasi pendidikan dasar yaitu
sekitar 63,2 %. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan
kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor
ekonomi. Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai
saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja terutama bagi lulusan
perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan
perguruan tinggi terus meningkat. Sampai dengan tahun 2000 ada sekitar 2,3 juta
angkatan kerja lulusan perguruan tinggi. Kesempatan kerja yang terbatas bagi
lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka
pengangguran sarjana di Indonesia.
Menurut
catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka
pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang. Fenomena
meningkatnya angka pengangguran sarjana seyogyanya perguruan tinggi ikut
bertanggungjawab. Fenomena penganguran sarjana merupakan kritik bagi perguruan
tinggi, karena ketidakmampuannya dalam menciptakan iklim pendidikan yang
mendukung kemampuan wirausaha mahasiswa. Masalah SDM inilah yang menyebabkan
proses pembangunan yang berjalan selama ini kurang didukung oleh produktivitas
tenaga kerja yang memadai. Itu sebabnya keberhasilan pembangunan yang selama 32
tahun dibanggakan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari
pemanfaatan sumberdaya alam intensif (hutan, dan hasil tambang), arus modal
asing berupa pinjaman dan investasi langsung. Dengan demikian, bukan berasal
dari kemampuan manajerial dan produktivitas SDM yang tinggi. Keterpurukan
ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini merupakan bukti kegagalan
pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM dalam menghadapi persaingan
ekonomi global. Kenyataan ini belum menjadi kesadaran bagi bangsa Indonesia
untuk kembali memperbaiki kesalahan pada masa lalu. Rendahnya alokasi APBN
untuk sektor pendidikan -- tidak lebih dari 12% -- pada peme-rintahan di era
reformasi. Ini menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dari pemerintah
pusat terhadap perbaikan kualitas SDM. Padahal sudah saatnya pemerintah baik tingkat pusat maupun
daerah secara serius membangun SDM yang berkualitas. Sekarang bukan saatnya
lagi Indonesia membangun perekonomian dengan kekuatan asing. Tapi sudah
seharusnya bangsa Indonesia secara benar dan tepat memanfaatkan potensi
sumberdaya daya yang dimiliki (resources base) dengan kemampuan SDM yang tinggi
sebagai kekuatan dalam membangun perekonomian nasional. Orang tidak bekerja
alias pengangguran merupakan masalah bangsa yang tidak pernah selesai. Ada tiga
hambatan yang menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja, yaitu hambatan
kultural, kurikulum sekolah, dan pasar kerja. Hambatan kultural yang dimaksud
adalah menyangkut budaya dan etos kerja. Sementara yang menjadi masalah dari
kurikulum sekolah adalah belum adanya standar baku kurikulum pengajaran di
sekolah yang mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian SDM yang sesuai
dengan kebutuhan dunia kerja. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih disebabkan
oleh rendahnya kualitas SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Ekonomi
abad ke-21, yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses
kegiatan ekonomi dan perdagangan, di mana negara-negara di seluruh dunia menjadi
satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas
teritorial negara. Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia
menuntut adanya efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha. Dalam globalisasi
yang menyangkut hubungan intraregional dan internasional akan terjadi
persaingan antarnegara. Indonesia dalam kancah persaingan global menurut World Competitiveness
Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti,
di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand
(40). Perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi yang akan dihadapi bangsa
Indonesia antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk berikut: Produksi, di mana
perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya produksi
menjadi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang rendah,
tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai ataupun karena iklim
usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur
global. Pembiayaan. Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman
atau melakukan investasi (baik dalam bentuk portofolio ataupun langsung) di
semua negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan sambungan
telepon, atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah
memanfaatkan sistem pembiayaan dengan pola BOT (build-operate-transfer) bersama
mitrausaha dari mancanegara. Tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu
memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan
staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman
internasional dan\atau buruh diperoleh dari negara berkembang. Dengan
globalisasi maka human movement akan semakin mudah dan bebas.
Jaringan
informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi
dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi, antara lain melalui: TV,
radio, media cetak dan lain-lain. Dengan jaringan komunikasi yang semakin maju
telah membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang
sama. Sebagai contoh KFC, Hoka Hoka Bento, Mac Donald, dll melanda pasar di
mana-mana. Akibatnya selera masyarakat dunia –baik yang berdomisili di kota
maupun di desa-- menuju pada selera global. Perdagangan. Hal ini terwujud dalam
bentuk penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan berbagai hambatan nontarif.
Dengan demikian kegiatan perdagangan dan persaingan menjadi semakin ketat dan
fair. Bahkan, transaksi menjadi semakin cepat karena "less
papers/documents" dalam perdagangan, tetapi dapat mempergunakan jaringan teknologi
telekomunikasi yang semakin canggih.
Dengan
kegiatan bisnis korporasi (bisnis corporate) di atas dapat dikatakan bahwa
globalisasi mengarah pada meningkatnya ketergantungan ekonomi antarnegara
melalui peningkatan volume dan keragaman transaksi antarnegara (cross-border
transactions) dalam bentuk barang dan jasa, aliran dana internasional
(international capital flows), pergerakan tenaga kerja (human movement) dan
penyebaran teknologi informasi yang cepat. Sehingga secara sederhana dapat
dikemukakan bahwa globalisasi secara hampir pasti telah merupakan salah satu
kekuatan yang memberikan pengaruh terhadap bangsa, masyarakat, kehidupan
manusia, lingkungan kerja dan kegiatan bisnis corporate di Indonesia. Kekuatan
ekonomi global menyebabkan bisnis korporasi perlu melakukan tinjauan ulang
terhadap struktur dan strategi usaha serta melandaskan strategi manajemennya
dengan basis entrepreneurship, cost efficiency dan competitive advantages. Masalah
daya saing dalam pasar dunia yang semakin terbuka merupakan isu kunci dan
tantangan yang tidak ringan.
Tanpa
dibekali kemampuan dan keunggulan saing yang tinggi niscaya produk suatu
negara, termasuk produk Indonesia, tidak akan mampu menembus pasar
internasional. Bahkan masuknya produk impor dapat mengancam posisi pasar domestik.
Dengan kata lain, dalam pasar yang bersaing, keunggulan kompetitif (competitive
advantage) merupakan factor yang desisif dalam meningkatkan kinerja perusahaan.
Oleh karena itu, upaya meningkatkan daya saing dan membangun keunggulan
kompetitif bagi produk Indonesia tidak dapat ditunda-tunda lagi dan sudah
selayaknya menjadi perhatian berbagai kalangan, bukan saja bagi para pelaku
bisnis itu sendiri tetapi juga bagi aparat birokrasi, berbagai organisasi dan
anggota masyarakat yang merupakan lingkungan kerja dari bisnis corporate.
Realitas
globalisasi yang demikian membawa sejumlah implikasi bagi pengembangan SDM di
Indonesia. Salah satu tuntutan globalisasi adalah daya saing ekonomi. Daya
saing ekonomi akan terwujud bila didukung oleh SDM yang handal. Untuk
menciptakan SDM berkualitas dan handal yang diperlukan adalah pendidikan. Sebab
dalam hal ini pendidikan dianggap sebagai mekanisme kelembagaan pokok dalam
mengembangkan keahlian dan pengetahuan. Pendidikan merupakan kegiatan investasi
di mana pembangunan ekonomi sangat berkepentingan. Sebab bagaimanapun pembangunan
ekonomi membutuhkan kualitas SDM yang unggul baik dalam kapasitas penguasaan
IPTEK maupun sikap mental, sehingga dapat menjadi subyek atau pelaku
pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan perlu
juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Oleh karena itu dimensi daya saing
dalam SDM semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas SDM
melalui pendidikan merupakan tuntutan yang harus dikedepankan.
Salah satu
problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan
merupakan subordinasi dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi
pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal ini sejalan dengan
kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi. Visi pembangunan yang demikian kurang
kondusif bagi pengembangan SDM, sehingga pendekatan fisik melalui pembangunan
sarana dan prasarana pendidikan tidak diimbangi dengan tolok ukur kualitatif
atau mutu pendidikan. Problem utama dalam pembangunan sumberdaya manusia adalah
terjadinya missalocation of human resources. Pada era sebelum reformasi, pasar
tenaga kerja mengikuti aliran ekonomi konglomeratif. Di mana tenaga kerja yang
ada cenderung memasuki dunia kerja yang bercorak konglomeratif yaitu mulai dari
sektor industri manufaktur sampai dengan perbankan. Dengan begitu, dunia
pendidikan akhirnya masuk dalam kemelut ekonomi politik, yakni terjadinya kesenjangan
ekonomi yang diakselerasi struktur pasar yang masih terdistorsi. Kenyataan
menunjukkan banyak lulusan terbaik pendidikan masuk ke sektor-sektor ekonomi
yang justru bukannya memecahkan masalah ekonomi, tapi malah memperkuat proses
konsentrasi ekonomi dan konglomerasi, yang mempertajam kesenjangan ekonomi. Hal
ini terjadi karena visi SDM terbatas pada struktur pasar yang sudah ada dan belum
sanggup menciptakan pasar sendiri, karena kondisi makro ekonomi yang memang
belum kondusif untuk itu. Di sinilah dapat disadari bahwa visi pengembangan SDM
melalui pendidikan terkait dengan kondisi ekonomi politik yang diciptakan
pemerintah. Sementara pada
pascareformasi belum ada proses egalitarianisme SDM yang dibutuhkan oleh
struktur bangsa yang dapat memperkuat kemandirian bang sa. Pada era reformasi
yang terjadi barulah relatif tercipta reformasi politik dan belum terjadi
reformasi ekonomi yang substansial terutama dalam memecahkan problem struktural
seperti telah diuraikan di atas. Sistem politik multipartai yang telah terjadi
dewasa ini justru menciptakan oligarki partai untuk mempertahankan kekuasaan.
Pemilu 1999 yang konon merupakan pemilu paling demokratis telah menciptakan
oligarki politik dan ekonomi. Oligarki ini justru bisa menjadi alasan mengelak
terhadap pertanggungjawaban setiap kegagalan pembangunan.
Dengan
demikian, pada era reformasi dewasa ini, alokasi SDM masih belum mampu
mengoreksi kecenderungan terciptanya konsentrasi ekonomi yang memang telah
tercipta sejak pemerintahan masa lalu. Sementara di sisi lain Indonesia kekurangan
berbagai keahlian untuk mengisi berbagai tuntutan globalisasi. Pertanyaannya
sekarang adalah bahwa keterlibatan Indonesia pada liberalisasi perdagangan
model AFTA, APEC dan WTO dalam rangka untuk apa? Bukankah harapannya dengan
keterlibatan dalam globalisasi seperti AFTA, APEC dan WTO masalah kemiskinan
dan pengangguran akan terpecahkan.
Investasi
Untuk memperoleh
suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam proses pembangunan di Indonesia,
terkumpulnya modal dan sumber daya sebagai investasi, menduduki peran yang
sangat penting. Dalam kondisi tertentu masih sulit untuk mengharapkan dana
investasi dari masyarakat. Untuk itulah pemerintah memerlukan dana yang besar
dari selisih penerimaan dan pengeluaran/biaya rutin pemerintah. Namun sayangnya
pemerintah tidak dapat terus-menerus mengandalkan tabungan pemerintah tersebut.
Perlu dilakukan upaya-upaya tambahan guna membantu memenuhi kebutuhan danan
investasi pembangunan. Upaya-upaya tersebut adalah:
v Lebih mengembangkan ekspor
komoditi non-migas.
v Mengusahakan adanya pinjaman
luar negeri yang memiliki syarat lunak.
v Menciptakan iklim investasi
yang menarik dan aman bagi para penanam modal asing.
v Lebih menggiatkan dan
menyempurnakan sistem perpajakn dan pengkreditan, terutama kredit untuk
golongan ekonomi lemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar