Peristiwa-Peristiwa
Politik Dan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan
A. Berbagai Faktor yang Memengaruhi
Proses Kembalinya Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan
Bagian
penting dari keputusan KMB adalah terbentuknya Negara Republik Indonesia
Serikat. Memang hasil KMB diterima oleh Pemerintah Republik Indonesia, namun
hanya “ setengah hati.” Hal ini terbukti dengan munculnya perbedaan dan
pertentangan antar kelompok bangsa. Dua kekuatan besar yang saling
berseberangan yaitu:
1. kelompok
unitaris, artinya kelompok pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
2. kelompok
pendukung Negara Federal-RIS.
Dampak dari
terbentuknya Negara RIS adalah konstitusi yang digunakan bukan lagi UUD 1945,
melainkan Konstitusi RIS tahun 1949. Dalam pemerintahan RIS jabatan presiden
dipegang oleh Ir. Soekarno, dan Drs. Mohammad Hatta sebagai perdana menteri.
Perlu diingat bahwa dalam Konstitusi RIS 1949 tidak mengenal jabatan wakil
presiden. Berdasarkan pandangan kaum nasionalis pembentukan RIS merupakan
strategi pemerintah kolonial Belanda untuk memecah belah kekuatan bangsa
Indonesia sehingga Belanda akan mudah mempertahankan kekuasaan dan pengaruhnya
di Republik Indonesia. Kelompok ini sangat menentang dan menolak ide federasi
dalam bentuk negara RIS.
Pada
akhirnya kelompok unitaris semakin memperoleh simpati. Berikut ini sejumlah
faktor yang memengaruhi proses kembalinya negara RIS menjadi NKRI.
1. Bentuk
negara RIS bertentangan dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945.
2.
Pembentukan negara RIS tidak sesuai dengan kehendak rakyat.
3. Bentuk
RIS pada dasarnya merupakan warisan dari kolonial Belanda yang tetap ingin
berkuasa di Indonesia.
4. Berbagai
masalah dan kendala politik, ekonomi, sosial, dan sumber daya manusia dihadapi
oleh negara-negara bagian RIS.
Pada tanggal
17 Agustus 1950, Presiden Soekarno membacakan Piagam terbentuknya NKRI.
Peristiwa ini juga menandai berakhirnya bentuk RIS. Indonesia kembali menjadi
negara kesatuan.
B. Kehidupan Ekonomi Masyarakat
Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan
Pasca pengakuan kedaulatan pada
tanggal 27 Desember 1949, permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia di
bidang ekonomi sangatlah kompleks. Berikut ini masalah-masalah tersebut:
Pasca
pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949, permasalahan yang dihadapi
oleh bangsa Indonesia di bidang ekonomi sangatlah kompleks. Berikut ini
masalah-masalah tersebut.
1. Belum
terwujudnya kemerdekaan ekonomi
Kondisi
perekonomian Indonesia pasca pengakuan kedaulatan masih dikuasai oleh asing.
Untuk itu para ekonom menggagas untuk mengubah struktur ekonomi kolonial
menjadi ekonomi nasional. Salah satu tokoh ekonom itu adalah Sumitro
Djoyohadikusumo. Ia berpendapat bahwa bangsa Indonesia harus selekasnya
ditumbuhkan kelas pengusaha. Pengusaha yang bermodal lemah harus diberi bantuan
modal. Program ini dikenal dengan gerakan ekonomi Program Benteng. Tujuannya
untuk melindungi usaha-usaha pribumi. Ternyata program benteng mengalami
kegagalan. Banyak pengusaha yang menyalahgunakan bantuan kredit untuk mencari
keuntungan secara cepat.
2. Perkebunan
dan instalasi-instalasi industri rusak
Akibat
penjajahan dan perjuangan fisik, banyak sarana prasarana dan instalasi industri
mengalami kerusakan. Hal ini mengakibatkan kemacetan dalam bidang industri,
kondisi ini mempengaruhi perekonomian nasional.
3. Jumlah
penduduk meningkat cukup tajam
Pada pasca
pengakuan kedaulatan, laju pertumbuhan penduduk meningkat. Pada tahun 1950
diperkirakan penduduk Indonesia sekitar 77,2 juta jiwa. Tahun 1955 meningkat
menjadi 85,4 juta. Laju pertumbuhan penduduk yang cepat berakibat pada
peningkatan impor makanan. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk kebutuhan akan
lapangan kerja meningkat. Kondisi tersebut mendorong terjadinya urbanisasi.
4. Utang
negara meningkat dan inflasi cukup tinggi
Setelah
pengakuan kedaulatan, ekonomi Indonesia tidak stabil. Hal itu ditandai dengan
meningkatnya utang negara dan meningginya tingkat inflasi. Utang Indonesia
meningkat karena Ir. Surachman (selaku Menteri Keuangan saat itu) mencari
pinjaman ke luar negeri untuk mengatasi masalah keuangan negara. Sementara itu,
tingkat inflasi Indonesia meninggi karena saat itu barang-barang yang tersedia
di pasar tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Akibatnya, harga
barang-barang kebutuhan naik. Untuk mengurangi inflasi, pemerintah melakukan
sanering pada tanggal 19 Maret 1950. Sanering adalah kebijakan pemotongan uang.
Uang yang bernilai Rp,5,- ke atas berlaku setengahnya.
5. Defisit
dalam perdagangan internasional
Perdagangan
internasional Indonesia menurun. Hal ini disebabkan Indonesia belum memiliki
barang-barang ekspor selain hasil perkebunan. Padahal sarana dan produktivitas
perkebunan telah merosot akibat berbagai kerusakan.
6.
Kekurangan tenaga ahli untuk menuju ekonomi nasional
Pada awal
pengakuan kedaulatan, perusahaan-perusahaan yang ada masih merupakan milik
Belanda. Demikian juga tenaga ahlinya. Tenaga ahli masih dari Belanda, sedang
tenaga Indonesia hanya tenaga kasar. Oleh karena itu Mr. Iskaq Tjokroadikusuryo
melakukan kebijakan Indonesianisasi. Kebijakan ini mendorong tumbuh dan
berkembangnya pengusaha swasta nasional. Langkahnya dengan mewajibkan
perusahaan asing memberikan latihan kepada tenaga bangsa Indonesia.
7. Rendahnya
Penanaman Modal Asing (PMA) akibat konflik Irian Barat
Akibat
konflik Irian Barat kondisi politik tidak stabil. Bangsa Indonesia banyak
melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Sebagai dampak
nasionalisasi, investasi asing mulai berkurang. Investor asing tidak berminat
menanamkan modalnya di Indonesia.
8. Terjadinya
disinvestasi yang tajam dalam tahun 1960-an
Pada tahun
1960-an terjadi disinvestasi yang cukup tajam akibat konflik Irian Barat.
Akibatnya kapasitas produksi menurun karena terjadi salah urus dalam
perusahaan.
C. Pemilihan Umum Tahun 1955
1. Situasi
Politik di Indonesia Sebelum Pemilu Tahun 1955
Kondisi
perpolitikan di Indonesia sebelum dilaksanakan Pemilu tahun 1955 ada dua ciri
yang menonjol, yaitu munculnya banyak partai politik (multipartai) dan sering
terjadi pergantian kabinet/ pemerintahan. Setelah kembali ke bentuk negara
kesatuan, sistem demokrasi yang dianut adalah Demokrasi Liberal Sistem
pemerintahannya adalah kabinet parlementer. Pada masa ini perkembangan partai
politik diberikan ruang yang seluas-luasnya. Dari tahun 1950-1959, terdapat
tujuh kabinet yang memerintah.
a. Kabinet
Mohammad Natsir (7 September 1950 – Maret 1951)
Kabinet
Natsir merupakan suatu Zaken Kabinet, intinya adalah Partai Masyumi. Kabinet
ini menyerahkan mandatnya tanggal 21 Maret 1951, setelah adanya mosi yang
menuntut pembekuan dan pembubaran DPRD Sementara. Penyebab lainnya adalah
seringnya mengeluarkan Undang Undang Darurat yang mendapat kritikan dari partai
oposisi.
b. Kabinet
Sukiman (April 1951- Februari 1952)
Kabinet
Sukiman merupakan koalisi antara Masyumi dengan PNI. Pada masa Kabinet Sukiman
muncul berbagai gangguan keamanan, misalnya DI/TII semakin meluas dan Republik
Maluku Selatan. Kabinet ini jatuh karena kebijakan politik luar negerinya
diangap condong ke Serikat. Pada tanggal 15 Januari 1952 diadakan
penandatanganan Mutual Security Act (MSA). Perjanjian ini berisi kerja sama
keamananan dan Serikat akan memberikan bantuan ekonomi dan militer.
c. Kabinet
Wilopo (April 1952- Juni 1953)
Kabinet
Wilopo didukung oleh PNI, Masyumi, dan PSI. Prioritas utama program kerjanya
adalah peningkatan kesejahteraan umum. Peristiwa penting yang terjadi semasa
pemerintahannya adalah peristiwa 17 Oktober 1952 dan peristiwa Tanjung Morawa.
Peristiwa 17 Oktober 1952, yaitu tuntutan rakyat yang didukung oleh Angkatan
Darat yang dipimpin Nasution, agar DPR Sementara dibubarkan diganti dengan
parlemen baru. Sedang Peristiwa Tanjung Morawa (Sumatra Timur) mencakup persoalan
perkebunan asing di Tanjung Morawa yang diperebutkan dengan rakyat yang
mengakibatkan beberapa petani tewas.
d. Kabinet
Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953-24 Juli 1955)
Kabinet ini
dikenal dengan Kabinet Ali Wongso (Ali Sastroamijoyo dan Wongsonegoro).
Prestasi yang dicapai adalah terlaksananya Konferensi di Bandung 18-24 April
1955.
e. Kabinet
Burhanudin Harahap (Agustus 1955 – Maret 1956)
Kabinet ini
dipimpin oleh Burhanudin Harahap dengan inti Masyumi. Keberhasilan yang diraih
adalah menyelenggarakan pemilu pertama tahun 1955. Karena terjadi mutasi di
beberapa kementerian, maka pada tanggal 3 Maret 1956 Burhanudin Harahap
menyerahkan mandatnya.
f. Kabinet
Ali Sastroamijoyo II (Maret 1956 – Maret 1957)
Program
Kabinet Ali II disebut Rencana Lima Tahun. Program ini memuat masalah jangka
panjang, misalnya perjuangan mengembalikan Irian Barat. Muncul semangat anti-
Cina dan kekacauan di daerah-daerah sehingga menyebabkan kabinet goyah.
Akhirnya pada Maret 1957, Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya.
g. Kabinet
Djuanda (Maret 1957 – April 1959)
Kabinet
Djuanda sering dikatakan sebagai Zaken Kabinet, karena para menterinya
merupakan ahli dan pakar di bidangnya masing-masing. Tugas Kabinet Djuanda
melanjutkan perjuangan membebaskan Irian Barat dan menghadapi keadaan ekonomi
dan keuangan yang buruk. Prestasi yang diraih adalah berhasil menetapkan lebar
wilayah Indonesia menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar yang
menghubungkan titik-titik terluar dari Pulau Indonesia. Ketetapan ini dikenal
sebagai Deklarasi Djuanda. Kabinet ini menjadi demisioner ketika Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
2.
Pelaksanaan Pemilu Tahun 1955
Penyelenggaraan
Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu yang pertama dilaksanakan oleh bangsa
Indonesia. Pemilu diselenggarakan pada masa pemerintahan Kabinet Burhanudin
Harahap. Pemilu dilaksanakan dalam dua tahap yaitu tanggal 29 September 1955
untuk memilih anggota DPR, dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota
Badan Konstituante (Badan Pembentuk UUD).
Sangat membantu 👍
BalasHapusSangat membantu 👍
BalasHapusOk
BalasHapus