Permasalahan
di Seputar Kawasan Ekonomi Khusus
UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah
diundangkan pada tanggal 26 April 2007 dan dalam salah satu bab yang diatur
pada Bab XIV yaitu tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagaimana diatur
dalam Pasal 31. UU No 25 Tahun 2007 tidak memberikan penjelasan resmi tentang
makna hukum dalam KEK tersebut, tapi dalam pelaksanaannya isu seputar KEK telah
bergulir sebelum permasalahan KEK diatur dalam UU No 25 Tahun 2007. Hal ini
dapat dilihat pada tanggal 25 Juni 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
melakukan penandatanganan kerja sama pembentukan Special Economic Zone (SEZ)
bersama Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Turi Beach Resort. Jadi
sebelum pengaturan KEK tersebut, sebenarnya cikal bakal terbentuknya KEK sudah
dilakukan oleh Pemerintah RI dengan Pemerintah Singapora. Jadi dengan
pengaturan KEK dalam UU No 25 Tahun 2007 merupakan salah satu justifikasi atau
legalitas KEK dalam UU No 25 Tahun 2007 atau dalam RUU KEK di masa mendatang.
Keinginan pemerintah untuk merealisir KEK juga diungkapkan Wapres Jusuf Kalla, bahwa gagasan memperjelas
KEK di beberapa daerah yang diprediksi potensial menjadi industrial cluster
sesuai dengan kapasitas kawasan masing-masing, yakni sesuai dengan UU No 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Amanat pembentukan KEK dalam UU sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 31 ayat (3) UU No 25 Tahun 2007, telah dilakukan pemerintah dengan
disiapkannya Naskah Akademis dan Draft RUU tentang Kawasan Ekonomi Khusus.
Bahkan dalam Program Legislasi Nasional tahun 2008, RUU KEK merupakan salah
satu di antara 31 RUU yang akan menjadi prioritas pembahasan RUU antara
Pemerintah dan DPR pada tahun anggaran 2008.
Upaya pemerintah untuk mengembangkan daerah tertentu
sebagai bagian dari KEK pernah diungkapkan oleh Menteri Perdagangan RI Mari
Pangestu dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR-RI. Pembentukan KEK merupakan
upaya pemerintah untuk mempercepat peningkatan ekspor dan investasi diperlukan
berbagai kebijakan khusus. Hal ini juga sebagai upaya untuk menandingi negara
pesaing utama seperti RRC, Vietnam, Malaysia dan Thailand. Kebijakan khusus
dimaksud dalam bentuk fasilitas khusus di bidang perpajakan, kepabeanan,
infrastruktur pendukung, kemudahan perijian, keimigrasian dan ketenagakerjaan. Selama
ini ada beberapa bentuk atau kluster yang berhubungan dengan kawasan
pengembangan perekonomian, seperti :
1. Kawasan Industri (Keputusan Presiden No 41 Tahun 1996)
2. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu/KAPET (Keputusan
Presiden No 150 Tahun 2000)
3. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.(UU No
44 Tahun 2007 tentang Penetapan Perppu
No 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas)
4. Tempat Penimbunan Berikat (PP No 33 Tahun 1996) dalam bentuk :
a. Kawasan Berikat dan
Kawasan Berikat Plus;
b. Gudang Berikat;
c. Entrepot Untuk Tujuan Pameran;
d. Toko Bebas Bea, dan
5. Kawasan Ekonomi Khusus (Bab XIV UU No 25 Tahun 2007).
Bagi pemerintah sendiri keinginan untuk mengembangkan
suatu kawasan ekonomi khusus ada hubungannya dengan kegiatan investasi pada
umumnya, hal ini dapat dilihat dari tujuan pengembangan KEK, yaitu :
1. peningkatan investasi;
2. penyerapan tenaga kerja;
3. penerimaan devisa sebagai hasil dari peningkatan
ekspor;
4. meningkatkan keunggulan kompetitif produk ekspor;
5. meningkatkan pemanfaatan sumber daya lokal, pelayanan
dan kapital bagi peningkatan ekspor;
6. mendorong terjadinya peningkatan kualitas SDM melalui
transfer teknologi.
Permasalahan
Amanat untuk pembentukan RUU KEK telah digariskan dalam
Pasal 31 ayat (3) UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan menjadi salah
satu RUU yang diprioritaskan pada tahun 2008. Apakah mudah untuk menyusun draft
RUU KEK, mengingat banyak kepentingan antar instansi pemerintah yang harus
diatur dalam RUU KEK tersebut. Hal mendasar yang berhubungan dengan KEK yaitu
kedudukan KEK sebagai bagian kawasan khusus, karena saat ini sudah ada kawasan
khusus yang bernama Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Free Trade
Zone), apakah KEK sebagai bagian dari FTZ atau FTZ sebagai bagian dari KEK atau
KEK dan FTZ adalah dua kawasan khusus yang berbeda. Hal ini bisa dilihat dari
sejumlah berita di media massa yang masih mencampuradukan antara KEK dan FTZ. Di
sisi lain pemerintah pusat telah menunjuk daerah Batam, Bintan dan Karimun
sebagai percontohan daerah yang akan dijadikan kawasan ekonomi khusus. Hal ini
sesuai dengan adanya kerjasama antara Pemerintah RI dan Pemerintah Singapura
pada Juni 2006 yang lalu. Untuk menindaklanjuti MOU tersebut pemerintah telah
mengundangkan PP No 46, 47 dan 48 Tahun 2007 tentang Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Batam, Bintan dan Karimun. Tentu untuk menindaklanjuti
kerjasama tersebut diperlukan aturan pelaksanaannya, baik aturan teknis ataupun
aturan administrasi yang akan dijadikan alat atau parameter bagi pemerintah
daerah setempat untuk menindaklanjuti kerjasama tersebut dalam kerangka
persiapan daerah tersebut sebagai bagian dari KEK.
Analisa
FTZ sebagai bagian KEK atau KEK sebagai bagian FTZ.
Jauh sebelum gaung KEK terdengar, sebenarnya cikal bakal
KEK sudah ada dengan diundangkannya UU No 36 Tahun 2000 tentang Penetapan
Perppu No 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Menjadi Undang-Undang. UU No 36 Tahun 2000 kemudian diubah dengan UU No 44
Tahun 2007 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang. Di antara kedua UU tersebut
ada 2 nuansa yang berbeda, bila di UU No 36 Tahun 2000, khususnya pada Pasal 4
Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas merupakan wilayah hukum Negara Kesatuan
RI yang pembentukkannya dengan Undang-Undang, maka di UU No 44 Tahun 2007, ketentuan
pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, cukup diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Jadi ada perbedaan prinsip, yaitu diatur dengan UU
diganti menjadi diatur dengan PP. Hal ini terjadi karena sebelum Perppu
diajukan ke DPR, pemerintah sudah mengundangkan PP No 46 Tahun 2007 tentang
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, jo PP No 47 Tahun 2007
tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan jo PP No 48 Tahun
2007 Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun. Jadi pengajuan
Perppu No 1 Tahun 2007 semacam justifikasi atas diundangkannya PP No 46 – 48
Tahun 2007. Problematik FTZ vs KEK harus dilihat dari kerangka perbandingan
kawasan pengembangan perekonomian yang ada di dunia saat ini. Untuk menggambarkan
posisi kawasan tersebut dapat dilihat dalam tabel 1 di bawah ini, serta perbandingan konsep FTZ
dan KEK menurut peraturan perundang-undangan. Bila dilihat di antara tabel
tersebut, maka keberadaan pengaturan KEK dalam sistem hukum nasional ada sedikit perbedaan dengan best practise
yang ada di dunia ini. Perbedaan mendasar yaitu tentang pengertian atau
definisi dari KEK/SEZ, bila dalam ketentuan best practices disebutkan Suatu
wilayah yang luas tanpa pembatas yang jelas (pagar) yang di dalamnya terdapat
wilayah-wilayah tertentu untuk kegiatan perekonomian, berbeda dengan pengertian
yang diatur dalam draft RUU KEK Pasal 1 angka 1, yaitu Kawasan dengan
batas-batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi perekonomian yang bersifat
khusus dan memperoleh fasilitas tertentu. Problematik apakah FTZ bagian dari
KEK atau sebaliknya masih tampak dari sejumlah berita atau diskusi tentang
kedua hal tersebut. Masing-masing pihak berpandangan menurut pengertian sendiri
tanpa melihat literatur yang berhubungan dengan FTZ dan KEK tersebut. Bila
kedua hal ini didikotomikan, maka akan muncul pandangan sebagai berikut :
FTZ merupakan kawasan khusus yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Hal ini terbukti dengan diundangkannya UU No 44 Tahun 2007
jo UU No 36 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas jo
PP No 46 – 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Batam, Bintan dan Karimun.
Menurut model pengembangan perekonomian suatu kawasan,
maka SEZ/KEK terbagi atas : a) FTZ, b) Bonded Zone, c) Export Processing Zone
dan d) Kawasan Industri Terpadu. Dalam RUU KEK disebutkan bahwa KEK dapat
dibentuk terdiri dari satu atau kombinasi dari : a) Kawasan Pengolahan Eksport;
b) Tempat Penimbunan Berikat; c) Kawasan Industri; d) Kawasan Pengembangan
Teknologi; e) Kawasan Jasa Keuangan; f) Kawasan Ekonomi lainnya. Dalam RUU KEK,
suatu lokasi dapat diusulkan untuk menjadi KEK jika memenuhi kriteria dasar
sebagai berikut :
1. Ada kesanggupan dari Pemerintah
Provinsi/Kabupaten/Kota yang bersangkutan untuk
melaksanakan pengelolaan KEK;
2. Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, ditetapkan
sebagai kawasan budidaya dan tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung;
3. Terletak pada posisi yang strategis yaitu dekat dengan
jalur perdagangan internasional atau berdekatan dengan jalur pelayaran
internasional di Indonesia atau pada wilayah potensi sumber daya unggulan;
4. Telah tersedia dukungan infrastruktur dan kemungkinan
pengembangannya;
5. Tersedia lahan untuk pengembangan yang diusulkan;
6. Memiliki batas yang jelas.
Selain pengertian atau definisi di atas, maka hal
terpenting yang menjadi nilai jual bagi kalangan investor adalah kemudahan atau
fasilitas yang diberikan oleh negara terhadap konsepsi KEK tersebut. Fasilitas atau kemudahan merupakan faktor
yang akan menarik kalangan investor, misalnya kemudahan apa yang akan diterima
oleh investor seperti adanya pelayanan satu atap atau pelayanan satu pintu yang
diberikan oleh badan pengelola atau badan pengusahaan KEK dengan standar dunia
(the world class services). Melalui kemudahan ini diharapkan para investor
hanya cukup datang ke badan pengelola untuk mengurus segala izin yang
berhubungan dengan kegiatan investasi tersebut. Di sisi lain fasilitas atau
insentif yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada para investor,
jadi ada semacam keistimewaan atau perlakukan khusus di bidang tertentu yang
berbeda di luar daerah KEK tersebut, seperti adanya tax holiday untuk jangka
waktu tertentu, penangguhan atau pembebasan bea masuk termasuk di bidang
perpajakan.
Dalam RUU KEK disebutkan bahwa UU akan memberikan
fasilitas tertentu dalam bentuk:
a. Fasilitas
tertentu, antara lain :
1. Perpajakan (Pasal 19);
2. Kepabeanan (Pasal 20-21);
3. Perdagangan (Pasal 22);
4. Pertanahan (Pasal 24);
5. Keimigrasian (Pasa 26); dan
6. Ketenagakerjaan (Pasal 29- Pasal 31).
b. Fasilitas non
fiskal (Pasal 25), berupa kemudahan dan keringanan, antara lain :
1. bidang perijinan usaha;
2. kegiatan usaha;
3. perbankan;
4. permodalan;
5. perindustrian;
6. perdagangan;
7. kepelabuhan, dan
8. keamanan.
Terhadap fasilitas tertentu fasilitas non fiskal di atas
perlu disinkronisasi dan harmonisasikan dengan peraturan perundang-undangan lainnya,
sebab jangan sampai pengalaman UU No 25 Tahun 2007 khususnya tentang pertanahan
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Akhirnya untuk membuat konsep KEK di Indonesia berjalan
mulus dan sesuai dengan standar dunia, pemerintah telah membentuk Tim Nasional
Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia (Timnas KEKI) berdasarkan
Surat Keputusan Menko Perekonomian No Kep-21/M.EKON/03/2006 tertanggal 24 Maret
2006. Timnas KEKI dalam laporan pendahuluan telah menetapkan 12 kriteria untuk
menjadikan kawasan sebagai kawasan ekonomi khusus, yaitu :
1. KEKI harus diusulkan sendiri oleh pemda dan memperoleh
komitmen kuat dari Pemda bersangkutan. Komitmen itu berupa kesediaan Pemda
untuk menyerahkan pengelolaan kawasan yagn diusulkan kepada manajemen khusus;
2. Kepastian kebijakan, meliputi dukungan aspek legal
dalam pengembangan kegiatan ekonomi, baik kebijakan fiskal ataupun non fiskal;
3. Merupakan pusat kegiatan wilayah yang memenuhi RTRW.
Selain itu telah ditetapkan sebagai kawasan perindustrian atau oleh UU telah
ditetapkan sebagai wilayah dengan perlakuan khusus;
4. Tidak harus satu kesatuan wilayah, namun merupakan
kawasan yang relatif telah berkembang dan memiliki keterkaitan dengan wilayah
pengembangan lain;
5. Sudah tersedia fasilitas infrastruktur pendukung;
6. Tersedia lahan untuk industri minimal 10 hektar
ditambah lahan untuk perluasannya;
7. Tersedia tenaga kerja yang terlatih di sekitar lokasi;
8. Lokasi harus
memberikan dampak ekonomi yang signifikan;
9. Lokasi tidak terlalu jauh dengan pelabuhan dan bandara
internasional. Selain itu secara geopolitis wilayah KEKI bersaing dengan negara
lain atau bisa menjadi komplementer dari sentra produksi di negara lain;
10. Secara ekonomi strategis, dekat dengan lokasi pasar
hasil produksi, tidak jauh dari sumber bahan baku atau pusat distribusi
internasional;
11. Tidak mengganggu daerah konservasi alam; dan
12. Memiliki batas yang jelas baik batas alam maupun
batas buatan, serta kawasan yang mudah dikontrol keamanannya, sehingga mencegah
upaya penyelundupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar